iklan Q

Sabtu, 20 Maret 2010

ATM dengan berbagai Aturan

Mengingat sudah sering kali berita banyaknya penipuan lewat ATM, maka saat ini Bank banyak yang berlomba-lomba mengamankan jaringan ATM nya agar tidak ditinggalkan nasabahnya. Namun seiring hal tersebut banyak pula problem yang timbul seiring dengan tidak tahunya nasabah pada berbagai aturan di bank mengakibatkan nasabah banyak yang dirugikan.

Hal ini terkait dengan regulasi dan tidak ingin di salahkan pihak Bank yang telah membuat berbagai kesulitan dan kerugian pada nasabah, seringnya juga pihak Bank yang tidak transparan pada nasabahnya sendiri.

ATM memang sudah menjadi kebutuhan penting bagi sebagian besar nasabah bank dalam rangka transaksi secara mudah, nyaman, dan cepat. Misalnya, pengambilan uang, pembayaran, dan transfer dana antarrekening. Tidak heran, perputaran uang lewat ATM bisa mencapai puluhan triliun rupiah per hari. Namun, di tengah kian tingginya kebutuhan terhadap ATM, penjahat bank selalu berupaya mendahului kecanggihan teknologi ATM.

Salah satu titik kelemahan ATM yang menjadi target kejahatan adalah ketidakhadiran salah satu pihak, yaitu si pemilik ATM (bank), dalam setiap transaksi yang dilakukan nasabah. Transaksi selalu dilakukan sendiri (secara sepihak) oleh nasabah di mesin ATM. Problem besar bisa timbul jika kedudukan si nasabah dalam transaksi di ATM ternyata berpeluang digantikan penjahat bank dengan modus pencurian PIN atau memanipulasi kartu ATM si nasabah.

Adanya peluang penjahat tersebut merupakan bukti bahwa transaksi ATM kurang memenuhi syarat hukum. Berdasar pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), setiap transaksi (perjanjian) bisnis wajib memenuhi syarat-syarat. Yaitu, ada kata sepakat di antara para pihak, para pihak mampu bertindak, ada objek transaksi, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan atau undang-undang.

Syarat kesepakatan dalam BW merupakan bentuk antisipasi si pembuat undang-undang supaya para pihak tidak mengalami risiko dirugikan. Karena itu, pembuat BW mengharuskan pihak-pihak yang bertransaksi perlu hadir atau connect satu sama lain dalam proses transaksi tersebut. Artinya, para pihak mengetahui keadaan objek yang ditransaksikan (sejumlah dana). Kehadiran itu dibuktikan adanya tanda tangan para pihak sebagai wujud persetujuan antar-persoon (orang) yang tidak bisa digantikan mesin.

Hal seperti itulah yang tidak bisa dijumpai dalam transaksi di ATM. Salah satu pihak (wakil bank) tidak hadir dan tidak menyaksikan sendiri proses transaksi tersebut. Kehendak nasabah mengenai jumlah dan keamanan dana yang diambil tidak didahului komunikasi personal dengan pihak bank. Karena itu, apa pun respons mesin ATM terhadap perintah nasabah otomatis dianggap sebagai persetujuan pihak bank.

Ketidakhadiran pihak bank dalam transaksi seolah sudah diwakili mesin yang bisa saja dimanipulasi para penjahat bank. Padahal, mesin ATM tidak bisa disamakan dengan persoon yang bisa mewakili pihak bank (misalnya, lewat surat kuasa atau perintah). Ia tidak bisa melahirkan suatu kesepakatan yang subjektif dan terkontrol (sifat hati-hati). Karena itu, mesin ATM yang dibobol penjahat tidak bisa dipersalahkan atau digugat.

Secara hukum, mesin ATM bukan subjek hukum sebagaimana dipersyaratkan pasal 1320 BW, melainkan sekadar alat transaksi. Di sinilah letak lemahnya kedudukan hukum nasabah yang uangnya dibobol penjahat lewat transaksi ATM. Risikonya, pihak bank bisa saja mengelak dari tanggung jawab karena mereka tidak hadir dan tidak menyaksikan sendiri proses transaksi itu.

Kecuali, pihak bank memang mengakui adanya pembobolan dana nasabah setelah bank menelusuri bukti-bukti yang tercatat di mesin ATM tersebut. Di sini, beban pembuktian ada pada pihak bank, bukan pada nasabah. Transaksi yang tidak memenuhi syarat 1320 BW memang bisa mengarah pada risiko. Yaitu, pihak yang dirugikan (nasabah) tidak bisa menggugat ganti rugi kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian itu (bank).

Jadi, perlindungan nasabah sangat bergantung pada keadaan mesin ATM. Bank bertanggung jawab menyediakan mesin ATM yang paling aman bagi nasabah. Persoalannya, mampukah bank menyediakan mesin ATM yang tingkat keamanannya mendekati transaksi konvesional seperti di counter bank?


Lagi pula, jika nasabah bank memang merasa lebih aman bertransaksi di counter bank, bank tidak boleh mewajibkan rekening nasabah dimasukkan ke dalam jaringan ATM. Di counter bank, nasabah dan personel bank bisa saling ketemu langsung, tanpa memberi peluang sedikit pun kepada penjahat untuk mengganti posisi si nasabah dalam bertransaksi. Para pihak bisa saling mengetahui langsung nominal dana, tujuan, dan bukti tertulis setiap transaksi.

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo...kasih coretan di bawah ini...jangan lupa ya...meskipun hanya kata-kata sekedarnya, saya hargai setinggi langit nan biru...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More